In Memoriam Yulius Nakmofa – Aktivis PRBBK Indonesia
Bersama
Yulius Nakmofa dan Alex Ofong, kami berangkat ke Palu suatu waktu di
pertengahan tahun 2003. Perjalanan ini bagian pertama dari serial training community-based
disaster management [ #CBDRR #PRBBK ] yang disponsori Yayasan Pikul dan
PMPB Kupang di Indonesia Timur termasuk Kalimantan dan Sulawesi. Di Palu, kami
di fasilitasi rekan-rekan LPS-HAM Palu.
Tapi ada
yang mengganjal di hati Yus Nakmofa. Katanya: “mati katong, Palu ini sarang
aktivis LSM yang kemampuan fasilitasinya di atas rata-rata. Karmana katong
(bagaimana kita) bisa tunjukan kalau katong (kita) bisa fasilitasi secara
partisipatif?” Salah satu pentolan aktivis Palu yang dikenal Yus dan kaliber
dalam proses-proses fasilitasi komunitas dan LSM adalah Chalid Muhamad (mantan
direktur eksekutif JATAMNAS dan WALHI), yang juga pendiri Yayasan Pikul dan
mengambil peran ketua Board Yayasan Pikul era paska reformasi. Yus dan Alex
sering melihat kualitas fasilitasi Chalid dari jarak dekat. Kualitas Chalid
menjadi semacam terror bagi aktivis-aktivis yunior.
Sebenarnya
ada hal tak terlihat yang lebih menghantui Yus. Bagi Yus, aktivis-aktivis Palu
lebih kritis secara ideologis. Sedangkan di NTT, saat itu, mungkin lebih
pragmatis. Tentu kita ingat bagaimana para aktivis dari suatu kota mencoba
mengirimkan celana dalam sebagai simbol kritik pada aktivis kampus NTT yang tak
mampu berdemo secara memadai di tahun 1998. Reputasi aktivis mahasiswa Kota
Kupang tentu lebih tercoreng lagi dengan demo sektarian yang berujung pada
konflik sektarian tahun 1998. Di arena aktivis LSM NTT pun memang sangat
sedikit yang terbiasa dengan narasi-narasi kritis a la kiri yang
biasanya menginspirasi perlawanan terhadap ketidakadilan social dan watak
predator negara. Bukan karena tidak mampu secara textual. Secara
textual, hitung saja mantan-mantan seminari yang belajar filsafat dari Seminari
level SMP hingga perguruan tinggi yang membanjiri sektor LSM. Ini soal jejak
langkah aktivis yang bertransformasi dari LSM generasi pertama (model
Sinterklas) ke generasi ketiga (model advokasi kritis). Pasifikasi melalui text
kitab suci menjadi pelengkap kegagapan aktivis daerah kering ini.
Kembali ke
Yulius Nakmofa, tanpa bicara kiri atau kanan, ia adalah salah satu aktivis tipe
pekerja. Orientasi ke bawah, ke komunitas, di jalaninya secara konsisten selama
25 tahun. Dalam dua puluh tahun terakhir, dia salah satu yang paling konsisten
di dalam gerakan membangun ketahanan komunitas-komunitas marginal terhadap
bencana. Ia juga menjadi guru dengan melatih aktivis-aktivis dan rekan-rekan
Pemda mulai dari NTT hingga Aceh, Sulawesi, NTB dan sebagainya.
Memulai karirnya sebagai fasilitator
IDT (Inpres Desa Tertinggal), program pengentasan kemiskinan Orde Baru yang
dirancang 1992 dan on road sejak 1994. Yulius pernah tinggal 3 tahun di
Besikama dan beberapa desa dan menyaksikan bagaimana investasi-investasi
pembangunan sering hancur karena banjir. Yus memang jenaka sehingga anda
mungkin saja gagal focus pada pengetahuannya yang dalam tetapi s ering kurang artikulatif dan
dibungkus dalam humor-humor, mati ketawa ala Jus Nakmofa.
Tiga hal
yang belum saya selesaikan dengan Yus: 1 memberikan kado artikel jurnal
internasional yang kami tulis bersama (sudah diterima dengan status revisi); 2
menuliskan biografinya dan 3, bertemu muka di Natal 2017 ini untuk menyelesaikan
perang dingin dengannya dalam 7 tahun ini. Karena orientasi ke komunitas dan
lapangan, PMPB Kupang memang kemudian punya visi yang tidak ekspansif dalam
skala yang lebih luas. Visi Yus adalah menjadikan aktivis-aktivis PMPB Kupang
menjadi pekerja lapangan. Sedangkan visi saya adalah melatih staf-staf PMPB dan
mendorong mereka belajar setinggi mungkin untuk menjadi tangguh yang bisa kerja
di mana saja di planet ini. Karena tidak seperti yang dikonstruksi
aktivis-aktivis di pusat kekuasaan dan pusaran uang bencana di tanah Jawa.
Rekan-rekan di PMPB Kupang (sebelumnya FKPB) sejak tahun 1998/1999 sudah ikut
kursus community-based disaster management di Bangkok dan Manila.
Kembali ke
cerita pelatihan di Palu. Di akhir training, para peserta memberikan nilai A++
kepada kami bertiga. Saya termasuk yang optimis. Sebagai gelandang, saya
percaya pada kekuatan Yus dalam pendekatan partisipatf dan mampu membuat
suasana kelas rilex. Di desa-desa yang pernah kami datangi bersama baik di
Timor, Alor maupun Flores, Yus mampu menunjukan pada yunior-yuniornya bahwa
dengan sumber daya terbatas, batu kayu dan daun, proses fasilitasi tetapi bisa
lancar bahkan powerful dalam menfasilitasi pemahaman soal risiko, soal
bencana, soal penghidupan. Gesture-nya di lapangan begitu halus dan
alamiah. Ilustrasi-ilustrasi dan humornya membuat pengetahuan teknis lebih
gampang dikunyah peserta. Menggabungkan kekuatan Alex Ofong, jebolan filsafat
Ledalero terbaik di angkatannya membuat hidup lebih baik. Saya selalu berharap
kami bertiga bisa tetap menjadi pelatih dalam tim yang sama. Ibarat Trio
Barcelona (Neymar Messi Suarez) atau Real Madrid (Ronaldo Bale Benzema).
Sayang, itu menjadi kesempatan yang pertama dan terakhir kami bertiga berada
dalam tim kepelatihan yang sama.
Bro Yus,
kamu pergi terlalu cepat. Selamat Jalan. Tenang dalam keabadian. Nama dan
jasamu tetap dikenang!
***
Catatan:
PRBBK = Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas